SUGENG SUMPING

Silahkan dibaca dan dicerna dengan pendekatan makna yang menurut anda adalah sebuah kebenaran. Jika tidak berguna jangan diambil, jika berguna silahkan diambil...salam untuk kalian dan orang-orang yang mencintai kalian.

Minggu, 27 Februari 2011

KETIKA HARI TAK LAGI BIASA

Hari itu sebenarnya adalah hari yang melelahkan bagiku, dua hari berkutat dengan perpolitikan mahasiswa dan pulang malam hari ke kamar kos dengan segala kelelahan yang memaksaku untuk segera berbaring di kasur kesayangan. Berusaha berbincang lewat pesan singkat, tapi ternyata arus sinyal operator tidak sesingkat pesan yang kutulis untuknya. Seorang gadis yang telah meawarnai hari-hariku terakhir ini. Seorang gadis yang menginspirasiku bahwa segala sesuatu selalu tepat pada waktunya.

Karena bosan menunggu tulisan yang terlalu lama berjalan di kabel-kabel operator, atau terlalu lama merambat dialtar satelit akhirnya kulangsung meneleponnya. Pertama terdengar nada nyambung, kemudian tak berapa lama terdengar suaranya. Sebuah keajaiban teknologi bisa mendekatkan jarak antar manusia yang terpisah, tapi sepertinya sebuah ketidakmungkinan jika teknologi bisa mendekatkan manusia dengan Tuhan nya.

Tak pentinglah membicarakan teknologi disaat rasa rindu tak bisa dikompromi. Kumulai berbincang dengannya, berbincang dalam suara-suara yang selalu kita mengerti dalam bahasa Indonesia yang telah banyak menyatukan perbedaan diantara kita.

Obrolan ke utara ke selatan akhirnya sampai juga pada satu titik kumengajaknya jalan-jalan ke kota Yogyakarta. Sebenarnya kutaktahu kenapa harus mengajaknya kesana, ke kota yang masih sangat kental dengan budaya kerajaannya, kota yang menjadi saksi mata hebatnya letusan gunung Merapi yang banyak memakan korban. Dan kota yang sekarang telah menjadi saksi mengenai apa saja yang kulakukan bersamanya selama dua hari satu malam di kota gudeg itu.

Perjalanan ini memang tanpa direncakan, tapi semua sudah tepat pada waktunya. Tepat waktunya kumengajaknya, tepat waktunya kami mendapat tiket duduk di kereta ekonomi, tepat waktunya kereta berangkat dan tiba. Yang terpenting adalah aku bersama orang yang tepat.

Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta tidaklah singkat, proses perjalanan memakan waktu kurang lebih 9 jam. Banyak hal yang terjadi selama Sembilan jam itu, walaupun kami hanya menghabiskan waktu ditempat yang sama. Ya itulah kehidupan, selalu ada saja moment yang terjadi entah itu dibuat ataupun terjadi dengan sendirinya tanpa disadari. Moment-moment yang terkadang kalau kita perhatikan dan resapi banyak sekali mengandung madu kesadaran. Madu-madu kesadaran yang akan banyak mempengaruhi kebajikan seseorang dalam mengarungi kehidupannya, beruntunglah mereka yang sering meminum madu kesadaran dalam hidupnya.

Pagi hari kami tiba di Yogyakarta, disambut dengan deru pesawat yang terbang begitu rendah dan ramainya para tukang becak yang siap mengantar kita kemana saja. Pagi ini kami awali dengan doa dan sarapan soto ayam depan stasiun Lempuyangan.

Selesai sarapan, kami diantar menggunakan becak ke stasiun Tugu di dekat jalan malioboro. Keramahan kota Yogyakarta dan tenangnya suasana membuat kami tak henti tersenyum menikmati suasana yang semakin mengakrabkan kami.

Senin, 21 Februari 2011

ROMANSA KERETA


Kereta malam membawa kita
Menyusuri segala tanah yang ramah
Menyingkap malam dengan sirine lokomotif
Kau duduk disampingku
Bercerita tentang hari dimana kita tak bersama
Kau tersenyum manis disela ceritamu
Matamu berbinar penuh kerinduan
Seperti biasa aku terdiam mendengarnya
Hanya segurat senyum dalam diamku
Kau terus bercerita mengisi kesunyian gerbong kereta
Walau malam telah meraja
Tapi kantuk entah kemana perginya
Hingga lelah perlahan menyapa
Kau bersandar dipundakku
Aku mulai memejamkan mata
Menerima kenyataan tentang dirimu
Yang kini ada dihatiku
Kau tertidur hingga sesuatu membangunkanmu
Kereta hampir tiba di stasiun Jatinegara
Pagi yang dingin menyambut kita
Kau merangkulku erat penuh rindu
Aku mengecup pipimu
Dan kau mengecup pipiku
Pgi yang indah kita rasa
Dalam cinta kita tersenyum tertawa
Untuk selamanya.

Minggu, 20 Februari 2011

SEKEPING UANG DALAM KEHIDUPAN


salam semangat untuk kalian yang selalu merindukan perubahan..

butir-butir air yang masih menetes di kaca bus sedikit menghalangi pandanganku, suara nyanyian pengamen memenuhi suasana bus yang tak begitu padat. di sebelah kanan terlihat patung pancoran yang sudah kumal dan kusam oleh debu-debu kemodernan, segala yang ada di bumi ini memang selalu punya dua sisi yang berbeda..begitupun kemdernan, tak semuanya kemodernan itu baik.

sampai di dekat pintu tol, bus dan semua kendaraan diberhentikan. ternyata akan ada seorang mentri yang akan melintas. beberapa saat terdengar gumaman-gumaman penumpang bus yang menyuarakan kekecewaan, "selalu saja kepentingan mereka yang didahulukan, ngomongnya sih untuk rakyat juga, tapi mana hasilnya.." itulah salah satu gumaman mereka, ada juga yang berceloteh "sepenting apakah mereka sehingga harus didahulukan, mungkin mereka tak sabar untuk bercinta dengan harta dan jabatan mereka..". Aku dan beberapa orang dalam bus hanya tersenyum...ya itulah suara rakyat yang sebenarnya, suara yang tak lagi bisa mempercayai pemerintahan yang dirasakan tidak bisa memperjuangkan rakyatnya.

tak lama berselang, rombongan mentri datang. suara sirine mobil pengawal meraung-raung memberi tanda pada semua orang bahwa ada orang pemerintahan akan lewat. "Sana kau cepat-cepatlah berlalu dari hadapan kami, supaya tak sampai kami muntah melihat hitam dan gelapnya kaca mobilmu...melihat ketakutanmu pada kami rakyat yang sengsara oleh kau yang selalu mementingkan lambungmu yang penuh dengan belatung-belatung kebusukan itu..." teriak seorang pengemis dipinggir jalan yang menarik perhatian kami. 



Mungkin seperti itulah cerminan rakyat dan pemerintahan kita, tapi harus diingat bahwa segala dualitas hidup selalu memiliki dua sisi yang saling melengkapi...mari kita bersama menemukan sisi baik dari rakyat dan pemerintahan kita...dan jadikan kebaikan-kebaikan itu sebagai bahan dasar perbaikan negara kita yang dirasa sudah compang-camping oleh kepentingan individu, dan kelompok tertentu...

Hanya aku, kau, dan kita semua yang mampu melakukannya.
Tersenyum dan bersemangatlah, karena kalian adalah penggubah Zaman..

SECANGKIR KOPI dan TAHUN BARU

Sore, 29 Desember 2009. Masih nongkrong di kantin Darna ditemani secangkir kopi dan kepulan asap dari rokoknya darna, di pojok meja seorang anak bernama Gafur sedang asik dengan imajinasinya sambil menikmati mendungnya awan yang entah kapan akan turun hujan.

Petir - petir berkilatan menghias gelap langit sore, gerimis mulai datang. Daun - daun kering berguguran dari pohon di depan ruang Audio Visual. OB sedang asik membereskan sampah - sampah yang berserakan di depan kantin, dengan sarung tangan biru yang membungkus tangannya.

Tak ada yang spesial di penghujung tahun ini, semua masih berjalan seperti biasanya. Diri ini pun masih sendiri, masih sibuk dengan imajinasi, masih suka naik gunung daripada kuliah.

Tanggal satu inginnya naik gunung, merenung dari tempat tinggi sambil melihat hamparan awan dengan sejuk dan segarnya udara pegunungan. Ditemani pohon - pohon edelweis, dan rumput lembut yang menutupi tanah lembab di puncak itu.

Kuteguk kembali secangkir kopi hitam itu, kuperhatikan sebentar segelas kopi itu. Warnanya hitam, ada sedikit butir - butir serbuk kopi tertempel di pinggir gelas. Mungkin seperti itu jugalah kehidupan di tahun 2009 ( kalo boleh kita sebut batasan waktu ), seperti kopi. Penuh dengan lika - liku, penuh dengan intrik dan konflik, penuh dengan drama tak berskenario, begitu hitam. Tapi ketika kita tidak hanya melihat hitamnya kehidupan, tapi kita juga berusaha mencicipi dan meneguk realitas dengan kesadaran maka disana kita akan menemukan manisnya kehidupan. Selalu begitu, selalu ada dua sisi yang dihadirkan oleh kehidupan.

Kuletakan gelas kopi di atas meja yang kusam, Darna pamit pulang setelah dia membereskan jualannya. Kantin mulai sepi, mulai kosong...tak ada lagi canda tawa teman - teman mahasiswa, atau teriakan - teriakan penjual, semua sepi.

Tapi di dalam kesepian itu, ada sebuah harapan muncul dari tirai - tirai air hujan. Harapan yang membuat planet - planet terus berputar, yang membuat matahari terus bersinar, dan yang membuatku terus berusaha mencapai bintang - bintang terang di langit kehidupan.

Secangkir kopi dan tahun baru, sekuntum bunga dan lebah, sepotong kedamaian dan senyuman kecil manis di awal tahun 2010. Selamat memasuki hitungan baru tahun masehi, hitungan ke 2010. Semoga dan berharap kalian akan semakin menjadi pribadi yang baik, yang selalu menjalani kehidupan ini dengan kesadaran, pribadi yang bisa menghormati sesama, lingkungan, dan alam semesta.

Tersenyum selalu untuk kalian, Semangat!!

SEGELAS TEH MANIS HANGAT


Sore itu mendung menggelantung dilangit Jakarta, tapi senja masih terlihat keemasan di ujung barat. Dua anak manusia mencoba menerobos kemacetan dengan beberapa penumpang bus kota lainnya, dengan kesabaran mereka akhirnya sampai di terminal senen. Senja telah hilang menutup hari, kumandang adzan memecah hiruk pikuk terminal yang penuh dengan deru bus kota. Kepulan asap dari knalpot menambah ornament kusam sudut kota Jakarta sore itu.

Dua anak manusia turun dari bus, dan sedikit tergesa berjalan menyusuri trotoar jalan yang dibeberapa tempat masih terlihat genangan air hujan yang tak sempat menguap menjadi awan-awan putih yang selalu menggelantung dilangit biru. Mereka mampir disebuah warung mie ayam yang sederhana, gerobaknya berwarna biru dengan tulisan mie ayam yang ditulis secara manual menggunakan cat. Mereka berdua memesan dua porsi mie, yang satu tanpa daun bawang, dan yang satu komplit. 

Mereka menikmati mie ayam disela udara lembab yang telah akrab sambil menonton tv 14" yang terletak tidak jauh dari tempat mereka makan, acara tv sedang menyiarkan aksi terorisme yang merampok bank CIMB di Medan. Beberapa orang bersenjata api dengan menggunakan helm tampak gagah menghias layar kaca, seoalah-olah mereka menantang para polisi.

Selesai makan, mereka berdua mulai memasuki setasiun Senen. Mampir di sebuah mushala kecil disudut stasiun untuk menjalankan ibadah. Setelah ibadah, satu teman mereka akhirnya sampai di stasiun walaupun tadinya dia sangat bimbang menentukan ikut atau tidak.

Waktu kedatangan kereta masih lama, mereka bertiga menunggu ditempat tunggu sambil mengobrol dan sesekali terdengar tawa diantara mereka. Sekitar pukul sembilan malam, kereta tiba. Mereka bertiga memasuki lorong-lorong gerbong kereta mencari tempat duduk sesuai karcis kereta.

Setelah menemukan tempat duduknya, mereka menata barang dan duduk tenang menunggu kereta berangkat. Gerbong kereta ramai oleh lalu-lalang penumpang, ada yang sedikit protes karena tempat duduknya ditempati oleh orang lain.

Duduk dihadapan mereka sepasang ayah dan ibu yang umurnya sekitar enam puluhan, entah siapa namanya tapi mereka cukup ramah walaupun sedikit pendiam. Tak berselang lama, kereta mulai melaju menyusuri rel mengantarkan mereka ketempat tujuan. Sepanjang perjalanan mereka banyak mengobrol, dari mulai obrolan seputar kampus, mitos rakyat, sampai cerita hantu yang ternyata cukup seru diceritakan malam itu. Disela obrolan itu terkadang terdengar tawa yang menyeruak diantara teriakan para pedagang yang tanpa letih menjajakan dagangannya.

Lewat pukul dua belas malam, suasana kereta mulai sedikit sepi. Hanya terdengar suara-suara pedagang yang masih saja menjajakan dagangannya, para penumpang sebagian besar sudah terlelap dalam selimut-selimut kelelahan dan belaian angin malam yang menyusup lewat jendela kereta yang terbuka.

Tiga anak manusia itu terus asik bercerita walaupun akhirnya rasa kantuk tak bisa lagi ditahan, merekapun terlelap diringi irama roda kereta yang terdengar merdu memecah gelapnya malam. Hanya terlelap beberapa jam, mereka tersadar kembali dengan muka yang masih merindukan kenyamanan untuk tidur.

Para pedagang mulai ramai kembali ketika waktu sahur tiba, tiga anak manusia itu makan seadanya dengan bekal yang mereka bawa. Suami istri dihadapannya makan dengan nasi bungkus dan pepes tahu yang terlihat sangat lezat, tapi walaupun ditawari kami terpaksa menolak karena porsinya memang pas buat mereka berdua.

Mereka makan bersama sambil sesekali bercerita tentang sesuatu yang tidak terlalu penting, dari kejauhan terdengar penjual teh manis anget. Rupanya si bapak tergoda untuk menikmati hangatnya teh di pagi yang sedikit terasa dingin itu, teh manis hangat itupun tiba dimuka si bapa, dengan yakin si bapak membeli satu gelas dan menaruhnya di meja kecil yang sedari tadi tidak menjamin barang diatasnya tidak tumpah. Tak berselang lama, teh manis anget itupun tumpah membasahi mereka berlima, tempat duduk yang tadinya menjadi tempat ternyaman kini berubah menjadi tempat yang tidak nyaman. Tapi tragedi teh manis anget itu ternyata malah membuat suasana menjadi hangat, mereka bekerjasama untuk membersihkan tempat duduk walaupun dimuka si bapa terlihat kekecewaan.

Kereta masih terus berjalan diantara kegelapan malam, sampai akhirnya tiba di stasiun Purwokerto. Mereka berlima akhirnya berpisah menuju tujuannya masing-masing dengan meninggalkan sedikit kenangan indah disudut gerbong kereta ekonomi yang kelak mungkin akan menjadi cerita yang indah untuk anak dan cucu mereka.

Itulah perjalanan, selalu ada sesuatu yang bisa diceritakan.

AYUVEDA SILVANHA part 2


Hujan baru saja reda, hanya tersisa rintik - rintik kecil yang masih menyapa tanah pertiwi. Disepanjang lorong sekolah ku melangkah menuju tempat parkir sepeda motor, lantai lorong masih basah dan sedikit licin untuk diinjak. Pak Surto sedang sibuk mengepel lantai yang kotor karena lumpur - lumpur dari sepatu anak - anak. Raut diwajahnya menandakan bahwa sudah lama dia menikmati kehidupan ini, dan keletihan yang masih saja bisa dia nikmati. "Hidup itu hanya perlu disyukuri, tak perlu berlebihan...justru kadang kesederhanaan itu lebih indah dari poya - poya.." begitu kata Pak Surto diobrolan minggu lalu dibawah pohon kelengkeng saat dia menyapu daun - daun kering di taman sekolah.

Sampai di parkiran motor, Agro memanggil dari arah kantin sekolah. Di kantin ternyata anak - anak IIA sedang merayakan kemenangannya di final liga sepakbola sekolah kemarin. Aku diajak makan - makan sebentar, kemudian aku beranjak pergi ke tempat kostnya Azis.

Jalanan kota masih basah, lampu jalanan masih lembab oleh air hujan. Pak POLISI sibuk mengatur lalulintas di perempatan jalan dengan sempritannya yang terdengar agak serak, mungkin karena kemasukan air tadi waktu hujan. Tubuhnya masih mengenakan mantel kuning dan helm dikepalanya, penampilannya kurang terlihat baik dengan celananya yang digulung ke atas. Tapi tanggungjawab lebih penting daripada penampilan, mungkin itu yang tercetak di kepalanya.

Lampu merah, dalam aturan aku harus berhenti. Tapi saat itu aku hendak belok kiri, jadi aku langsung tabrak lampu merah dan semua baik - baik saja. Sempet merenung juga, apakah semua yang mengambil aliran kiri ( ketidakbaikan ) selalu lancar dan selalu untung dibandingkan mereka yang mengambil aliran kanan, dimana ( kebaikan ) selalu saja ada halangan yang menantang. Ya...mungkin seperti itulah hidup, seperti aliran lalulintas di jalanan kota...

Hari mulai menjadi cerah, matahari perlahan mulai mengintip dari balik awan - awan kelabu. Cahaya keemasan terpantul di jalanan dan dedaunan yang basah. Kota kembali ceria, anak - anak kecil kembali berlarian diantara genangan - genangan air dengan canda tawa riang mereka. Seperti itulah hidup, selalu ada gelap terang, tinggal bagaimana kita menjalani dan mensyukurinya.

AYUVEDA SILVANHA part 1


Maaf, tak pernah aku berkunjung ke kuburmu. Belum sempat aku kembali mendaki gunung di bukit terakhir itu, entah seperti apa batu yang ditinggalkan untuk mengenang kepulanganmu ke nirwana. Kalau masih kamu mengenakan jasad bumi itu, kamu akan melihat kehidupan sekarang semakin disibukan oleh pikiran. Siang dan malam pikiran meraja mengendalikan seonggok daging yang entah kenapa rela saja untuk merasakan sakit yang tak berkesudahan. Bisa kutebak kalau kamu hanya akan tersenyum dan menggelengkan kepala ketika melihat semuanya....senyuman...ya senyuman manismu yang membekukan kembali kutub es akibat global warming, dan memberhentikan badai katrina yang meluluhlalantahkan negri adidaya itu...

hehehehe...maaf mungkin aku terlalu berlebihan di kalimat terkahir itu, tapi ya itulah terkadang tak ada kata - kata yang mampu menyimbolkan bahasa jiwa. Walaupun ada itu terkesan dilebih - lebihkan dan terlalu hiperbola.

Lebaran kemarin anak CUPIDAPALA berkumpul, semua ngerasa kangen sama kamu. Ella dan Gellin sempet nangis ketika kita nonton kembali video perjalanan kita di Gunung Selamet, terus kita makan nasi kucing Pak Darno dengan risoles bumbu kesukaanmu. Kita jalan - jalan malem keliling Purwokerto mengunjungi tempat nongkrong kita yang di depan stasiun radio RGM. Tapi sayang warung bubur kacang ijo Bu Capri udah dijadikan tempat parkir, dan tak ada lagi warung kenangan kita itu. Ya apalah arti masa lalu, paling hanya akan menjadi kenangan, kenangan yang telah membentuk pribadi kita menjadi seperti sekarang. Kalau kata guru kehidupan, masa lalu hanyalah kenangan, masa depan hanyalah hayalan, yang ada adalah masa sekarang...

Kita muter - muter sampe tengah malam, kemudian berhenti di alun - alun sambil menikmati hangatnya kopi ginseng dan jagung bakar Pak Kardi. Kamu tau ngga, ternyata pak Kardi itu dulu adalah seorang pilot angkatan udara, sempet ga percaya juga ngedengernya...hehehehe

Jam 2 malem kita semua ke rumahku, semua pada nginep. Semua langsung tidur karena lelah. Buku Biru yang pernah kamu kasih ke aku masih aku simpan, dan malam itu aku membukanya kembali. Di halaman depan tertulis namamu dengan jelas 'Ayuveda Silvanha' , sampai sekarang aku masih mempertanyakan arti namamu "Ayuveda", kamu selalu menolak dipanggil Ayu atau Veda tapi selalu ingin dipanggil Silva. Padahal Azis dan Abung sering ngeledek kamu karena dipanggil Silva, " Silva kan nama cowok, nama pemain bola..." dulu sempat Abung ngeledek kamu seperti itu, tapi seperti biasa kamu hanya senyum.

Oh iya Sil, Agustus besok kita pengen naik ke Semeru. Temen - temen pengen membersihkan batu tempat mengenang kepulanganmu. Ella dan Gellin janji tidak akan nangis lagi kalau sampai disana, mereka akan tersenyum seperti kamu yang selalu tersenyum ketika menghadapi masalah sesulit apapun.

Ayuveda Silvanha, terimakasih untuk hari - hari yang bersama terlalui. Terimakasih Tuhan, karena Kau telah mengajariku untuk senantiasa bersyukur...