"Seorang tentara dan sepucuk senapan laras panjang dengan sebutir peluru ditangannya, masih berdiri tegak digaris depan demi apa yang dia pertahankan.
Walau darah mengucur dari dahinya, dan banyak korban bergelimpangan. Dia tetap berdiri tegak digaris depan demi apa yang dia cintai.
Berbekal sekaleng ransum dan sebotol air, dia mengalahkan semua ketakutan dalam dirinya. Dan dia masih berdiri tegak digaris depan demi apa yang dia lindungi.
Dia tidak perduli apa yang dia pertahankan, apa yang dia cintai, dan apa yang dia lindungi juga mendukungnya untuk menang. Yang jelas dia masih punya satu peluru, jika bukan untuk menembak musuhnya maka itu untuk menembak dirinya sendiri.
Dia seorang tentara, dan dia masih berdiri tegak digaris depan dengan senyum yang lebar karena mentari begitu hangatnya terbit dengan segala kemegahannya. Mundur berarti kalah dan maju berarti mati. Tapi adakah kematian yang paling mulia bagi seorang tentara selain mati di medan perang.
Kini seorang tentara itu telah tiada, perang menelannya begitu tragis. Dia mati dengan kebanggaannya melindungi apa yang harus dilindungi, mempertahankan apa yang harus dipertahankan, dan tetap mencintai semua yang dia cintai dan mencintainya.
Tak ada yang tahu apa harapannya setelah perang berakhir, tidak banyak yang tahu namanya yang terdaftar bersama ribuan nama tentara lainnya. Tak banyak yang tahu apakah dia pernah menangis menahan segala luka dan duka yang dialaminya selama perang.
Hanya mentari yang mampu menghangatkan jiwanya yang dingin ketika sebutir peluru merobek jantungnya, dia terduduk bersimbah darah dengan sepucuk senapan laras panjang dan sebutir peluru ditangannya. Dan dia masih tersenyum lebar dibawah awan-awan yang berarak, diantara suasana yang mulai hening. Sampai akhirnya dia menerima anugerah terindah disana, di garis depan".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar